Kamis, 26 Januari 2023

FINTECH SYARIAH DI INDONESIA

 

Pendahuluan

Pengertian fintech syariah adalah sebuah platform digital dari pinjaman online, atau disebut peer to peer lending, yang mempertemukan antara pemberi pinjaman (lender) dan penerima pinjaman (borrower) secara online dan dalam menjalankannya berdasarkan prinsip syariah Islam. Fintech syariah ini sudah diatur oleh Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), serta Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui fatwa dari Dewan Syariah Nasional (DSN) No. 117/DSN-MUI/II/2018. Adapun isi dari fatwa ini menyangkut Layanan Pembiayaan Berbasis Teknologi Informasi Berdasarkan Prinsip Syariah. Penyelenggara fintech harus memenuhi beberapa kriteria prinsip syariah yang tidak mengandung beberapa unsur di bawah ini:

1.     Gharar (ketidak-jelasan)

2.     Riba (bunga)

3.     Tadlis (penipuan)

4.     Maysir (judi)

5.     Dharar (bahaya)

6.     Haram

7.     Zulm (ketidakadilan)

Apabila penyelenggara fintech syariah memiliki salah satu unsur saja di atas, maka dipastikan tidak akan mendapatkan izin dari BI dan OJK.

Jenis-Jenis Akad Pada Fintech Syariah

Melakukan pengajuan pinjaman di fintech syariah, dari pihak pemberi dan penerima dana harus menggunakan proses akad untuk persetujuan kerja sama. Berikut ini akad yang digunakan.

1. Ijarah

Yang pertama adalah ijarah. Akad ini akan digunakan dalam pemindahan atas hak guna barang maupun jasa dengan waktu tertentu menggunakan upah.

2. Mudharabah

Akad ini digunakan antara penjual juga pembeli dalam pengelolaan modal beserta keuntungan bisnis berdasarkan nisbah.

3. Al-Bai' (jual-beli)

Akad digunakan oleh penjual dan pembeli dalam pertukaran atau perpindahan kepemilikan atas barang dan juga harga.

4. Wakalah

Akad pelimpahan kuasa dalam melakukan perbuatan hukum tertentu dengan imbalan berupa upah.

5. Musyarakah

Jika dalam usaha ada dua pihak atau lebih, maka menggunakan akad musyarakah dalam membagi keuntungah sesuai dengan nisbah yang disepakati.

6. Qardh

Akad pinjaman antara pemberi dan penerima dengan ketentuan di mana penerima pinjaman mesti mengembalikan uang dengan jangka waktu juga cara yang telah disepakati.

Perbedaan Fintech Syariah dengan Fintech Konvensional

Perbedaan fintech syariah dengan fintech konvensional terletak pada dasar-dasar yang dianut. Fintech syariah menggunakan syariat Islam sebagai dasar layanan keuangan mereka. Untuk menjalani kegiatan usahanya, fintech berbasis syariah harus menaati peraturan yang dikeluarkan oleh OJK Nomor 77/POJK.01/2016 tanggal 26 Desember 2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi, dan harus menaati Fatwa Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) No: 117/DSN-MUI/II/2018 tentang Layanan Pembiayaan Berbasis Teknologi Informasi Berdasarkan Prinsip Syariah.

Perbedaan mendasar antara fintech syariah dan fintech konvensional adalah hal bunga. Bunga tidak sejalan dengan agama Islam karena mengandung unsur riba. Tidak akan dijumpai kredit dalam pembiayaan fintech berbasis syariah. Pembiayaan akan dilakukan berdasarkan Akad Murabahah, Akad Ijarah Wa Iqtina, dan Akad Musyarakah Mutanaqishah. Ketiga akad tersebut memiliki peraturan yang berbeda-beda dan tidak mengandung bunga lebih.

Akad Murabahah merupakan akad jual beli, dimana penyelenggara fintech menjadi seorang pembeli atas produk yang diinginkan nasabah. Lalu peminjam akan menjual produknya kepada nasabah dengan jumlah keuntungan yang telah disepakati sebelumnya.

Akad Ijarah Wa Iqtina merupakan akad sewa. Sama seperti Akad Murabahah, dimana penyelenggara fintech menjadi pembeli atas barang yang diinginkan nasabah. Kemudian peminjam akan menyewakan barangnya, yang di kemudian hari bisa dibeli oleh nasabah. Barang tersebut ada dalam status sewa dalam kurun waktu tertentu hingga berganti kepemilikan.

Sementara Akad Musyarakah Mutanaqishah merupakan program pembiayaan yang berasal dari penyelenggara fintech dan nasabah. Masing-masing, akan memberikan modal untuk produk tertentu. Nasabah nantinya bisa membeli bagian yang dipunyai oleh penyelenggara fintech, sehingga nasabah memiliki hak penuh atas kepemilikan produk.

Daftar Fintech Syariah yang Legal 

1.  Ammana.id

Fintech syariah ini berdiri sejak Maret 2018, Ammana mengklaim bahwa mereka merupakan peer to peer lending syariah pertama yang ada di Indonesia dan terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Ammana fokus terhadap kegiatan pendanaan untuk pelaku UMKM (usaha kecil, mikro dan menengah). Dilansir dari website resmi Ammana, dana yang telah disalurkan hingga tahun 2022 sebesar Rp486 M, dan total pengguna menembus angka 41.574.

2.  Investree

Tak hanya dikenal sebagai fintech basis konvensional, Investree pun berinovasi dengan menghadirkan layanan berlandaskan syariah. Sama halnya dengan fintech syariah yang lain, Investree Syariah pun menerima pembiayaan dalam membantu UMKM melalui metode buyer financing, invoice financing, dan working capital term loan.

3.  Kapital Boost

Fintech syariah yang satu ini terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan pada tanggal 30 Oktober 2019. Kapital Boost memulai dengan tujuan menjadi jembatan UKM dengan pendana global yang mencari imbal hasil secara adil, transparan, dan berdasarkan prinsip syariah.

4.  Ethis

Ethis menghadirkan alternatif pembiayaan dengan membentuk sebuah komunitas pemberi pembiayaan dalam berpartisipasi secara kolektif serta menggunakan prinsip syariah dalam menjalankan kegiatan pembiayaan di bidang infrastruktur dan real estate. Dilansir dari website resmi Ethis, total pendanaan hingga tahun 2022 sebesar Rp40.289.351.445,00 dengan total 5261 pengguna dan 599 pendana.

5.  Berkah Fintek Syariah (BFS)

PT. Berkah Fintek Syariah adalah salah satu pionir untuk penyelenggaraan sistem elektronik yang menawarkan produk pendanaan dan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah dan tentunya sudah terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan sejak tahun 2019. Hingga tahun 2022 akumulasi total pembiayaan sebesar Rp672,22 M.

6.  Papitupi Syariah

Papitupi Syariah adalah salah satu fintech syariah di Indonesia yang hadir dengan tujuan untuk bisa berperan aktif dalam memberikan sebuah solusi pembiayaan syariah. Dilansir dari website resmi, total pendanaan yang telah disalurkan hingga tahun 2022 sebesar Rp62,38 M.

7.  Alami Sharia

Tahun lalu, tepatnya bulan Mei 2021, PT ALAMI Fintek Sharia telah menyelesaikan proses akuisisi sebuah Bank Pembiayaan Rakyat (BPR) Syariah di Jakarta. Adapun pembiayaan fintech syariah ini mengalami pertumbuhan setiap tahunnya. Total pembiayaan yang sudah tersalurkan hingga tahun 2021 sebesar Rp662 M.

8.  Qazwa

Qazwa adalah perusahaan fintech syariah yang memiliki tujuan memudahkan usaha mikro dalam mendapatkan akses permodalan yang bebas riba agar usahanya bisa lebih berkembang dan berdasarkan prinsip syariah. Dilansir dari website resmi Qazwa, total pembiayaan yang telah tersalurkan sebesar Rp. 21 M.

9.  Duha Syariah

Di fintech syariah ini ada dua layanan yang bisa kamu gunakan yaitu pembiayaan perjalanan religi dan pembiayaan konsumtif (barang atau jasa). Untuk perjalanan religi, Duha Syariah bekerja sama dengan e-commerce atau marketplace dalam perjalanan wisata halal dan umrah.

10. Dana Syariah

Agak sedikit berbeda dengan peer to peer lending syariah lainnya, Dana Syariah mempunyai fokus membantu para peminjam yang membutuhkan suntikan dana segar di sektor properti, seperti pembelian lahan, pembangunan sarana prasarana dan pembangunan rumah.

Layanan Yang Terdapat Pada Fintech Syariah

1. Layanan Pendanaan

Setoran berbasis Deposit (bisa juga berdasarkan Qard), layanan Akun investasi, dan Pembayaran, penagihan, dan manajemen likuiditas yang sesuai dengan Syariah. Contoh perusahaan fintech yang menyediakan jasa ini adalah PayHalal (Souqa Fintech Sdn Bhd, Malaysia), AmalPay (Malaysia), Platform Akun Investasi (IAP –Malaysia).

2. Layanan Modal Kerja

Yakni Modal kerja Murabahah, Murabahah / Wakala / Mudharabah / Surat Kredit. Contoh perusahaan fintech syariah yang menyediakan layanan ini adalah Waqfe – Bahrain (penyedia platform perbankan digital).

3. Pembiayaan

Layanan pembiayaan fintech syariah dengan akad Murabahah, Mudaraba, Musharaka, Pembiayaan Salam atau Istisn’a, Ijarah, Keuangan Mikro Syariah. Perusahaan yang menyediakan layanan ini adalah Ethis Crowd – Singapura, Indonesia, Malaysia, Australia dan Blossom Finance.

4. Pasar Modal

Layanan yang diberikan berupa treasury Bank Islam, Sukuk (Obligasi Islam). Perusahaan yang menyediakan layanan ini adalah Adab Solution (pertukaran Crypto).

5. Manajemen Kekayaan

Layanan fintech syariah yang berupa manajemen kekayaan yang sesuai dengan Syariah untuk ritel dan HNWI. Disediakan oleh Wahed – AS (investasi penasehat Robo platform) dan HelloGold (emas berbasis blockchain investasi).

6. Asuransi

Mencangkup layanan Asuransi dan re-Asuransi, perusahaan yang menyediakan layanan ini yaitu Uplift Mutuals dan Insure Halal

Perusahaan fintech syariah dewasa ini semakin terlihat posisi dan urgensinya dalam meningkatkan inklusi keuangan baik di Indonesia maupun secara global.

Inspirasi Qur`ani Dalam Menghadapi Tantangan Industri

Era digital yang sangat disruptif adalah era perkembangan semua industri global berbasis teknologi, khususnya industri fintech syariah. Dalam rangka menghadapi tantangantantangan serius di masa mendatang, industri perlu menyiapkan roadmap yang memuat strategi-strategi jitu. Strategi tersebut tentu diramu dengan baik untuk mempertahankan eksistensi industri dan sekaligus melejitkan performa industri fintech syariah di masa mendatang.

Menurut hemat penulis, strategi-strategi yang dapat digunakan para pelaku industri fintech syariah adalah sebagai berikut (Iman, 2017:11).

1. Mendorong pemerintah dan pihak-pihak terkait seperti OJK untuk membuat aturan yang dapat memberikan payung hukum terhadap seluruh aktivitas fintech syariah. Perlu diingat, regulasi tersebut tentu harus membawa kemaslahatan bagi semua pihak. Regulasi tersebut juga diharapkan mampu melindungi hak-hak konsumen yang juga menjadi prioritas syariah. Legitimasi syariah terhadap perlindungan hak-hak konsumen merupakan konsekuensi logis dari keharaman atas praktek-praktek kedzaliman. AlQur`an menandaskan dalam surah al-Baqarah ayat 279:

Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (QS. Al-Baqarah [2]:279)

2. Meningkatkan kapasitas Sumber Daya Manusia (SDM). Upaya peningkatan SDM baik secara kuantitatif maupun kualitatif tentu dapat mendorong pertumbuhan industri fintech syariah yang lebih berdaya saing. Peningkatan kapasitas SDM juga merupakan salah satu aktivitas yang selaras dengan nilai-nilai universalitas Islam. Islam menyatakan bahwa tenaga kerja yang baik adalah tenaga kerja yang al-qawiyyu dan alamin. Al-Qawiyyu yang lebih merujuk kepada kekuatan fisik merupakan simbolisasi dari hard skill, sementara al-amin yang berarti terpercaya adalah simbolisasi dari soft skill yang merupakan karakter batiniah setiap individu. Ringkasnya, kapasitas SDM haruslah dikembangkan dari dua sisi ini secara simultan. Berkenaan dengan hal itu, alQur`an menjelaskan dalam surah al-Qashash ayat 26:

Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya". (QS. Al-Qashash [28]:26)

Ar-Razi (1988:245) dalam tafsirnya, Mafatihul Ghaib, mengemukakan bahwa al-amin juga mencakup fathonah (kecerdasan intelektual). Dengan kata lain, Islam dalam hal ini sangat mendorong agar umat Islam juga memiliki kapasitas intelektual yang berkualitas.

3. Strategi kolaborasi (non-kompetisi). Fintech syariah sebagai pelaku pasar yang baru di sektor keuangan tentu dianggap sebagai competitor, baik oleh industri perbankan maupun industri keuangan non-perbankan lainnya (https://www.pwc.com, diakses 10 Juli 2019). Dalam rangka menghadapi persaingan tersebut, maka salah satu alternatif yang dapat digunakan adalah strategi kolaborasi (Iman, 2017:11). Perlu diketahui, kolaborasi juga merupakan salah satu ajaran Islam. Allah Swt. Berfirman dalam surah al-Maidah ayat 2:

Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (QS. Al-Maidah [5]:2)

4. Memperkuat keamanan internal dengan mengintegrasikan artificial intellegence dengan sistem blockchain. Artificial Intellegence (AI) dapat membantu fintech syariah agar dapat memastikan keamanan pengguna dalam satu kesatuan operasional berupa big data. Kendati demikian, AI juga harus terintegrasi dengan blockchain yang menggunakan hashing ganda (untuk memastikan kesamaan integritas) agar tercipta sistem keamanan yang maksimal. Walhasil, integrasi sistem keamanan antara AI dan blockchain diharapkan mampu menjadi solusi keamanan yang terbaik bagi industri fintech syariah (Alfaiz, 2018:70-74). Dalam al-Qur`an sendiri, secara eksplisit memang tidak ditemukan lafadz yang sepadan untuk mewakili internet security. Namun secara implisit, al-Qur`an telah mendukung konsep tersebut. Sebagaimana diketahui pada umumnya, bahwa al-Qur`an sendiri merupakan kalamullah yang dibawa oleh Malaikat Jibril. Jibril berlaku seperti media yang mengantarkan pesan (mediator). Surah at-takwir menjelaskan karakter Jibril yang mulia, kuat, dan terpercaya:

“Sesungguhnya Al Quran itu benar-benar firman (Allah yang dibawa oleh) utusan yang mulia (Jibril), yang mempunyai kekuatan, yang mempunyai kedudukan tinggi di sisi Allah yang mempunyai 'Arsy, yang ditaati di sana (di alam malaikat) lagi dipercaya.” (QS. At-Takwir [81]:19-21)

Karakter Jibril ini sebenarnya merupakan karakteristik yang dimaksud dalam konsep IT Security. Karakteristik tersebut meliputi: dzi quwwah (kekuatan keamanan), makiin (tangguh), dan amiin (terpercaya). Sistem keamanan yang tangguh dan kuat tersebut dimaksudkan agar aset atau kekayaan yang tersimpan dalam data perusahaan tetap aman dan terlindungi. Konsep tersebut selaras dengan konsep maqashid alsyari’ah, yakni hifdz al-maal (menjaga aset kekayaan) (asy-Syatibi, 1996:25). Oleh karenanya tidak heran jika Islam sangat mendukung keamanan data terkait aset kekayaan pribadi seseorang.

Tantangan Fintech Syariah di Indonesia

Fintech merupakan sistem pembiayaan yang termasuk baru di Indonesia. Meskipun sudah banyak startup fintech, namun tidak semua terdaftar di OJK. Permohonan perizinan juga belum matang sehingga memerlukan banyak waktu untuk mengantongi izin. Tantangan fintech syariah tidak hanya datang dari peraturan pemerintah saja, namun ada banyak faktor, diantaranya adalah:

1.    Literasi Keuangan Masyarakat Indonesia Rendah

Direktur Literasi dan Edukasi Keuangan OJK, Horas V. M Tarihoran mengatakan bahwa literasi keuangan penting dilakukan karena indeks literasi dan inklusi keuangan di Indonesia masih relatif rendah. Berdasarkan Survei Nasional Literasi Keuangan pada tahun 2016, literasi keuangan Indonesia baru mencapai 29,7 persen, sementara inklusi keuangan sebesar 67.8 persen.

Menjadi cakap keuangan adalah hal penting, karena akan melindungi masyarakat itu sendiri dari transaksi-transaksi palsu yang merugikan. Ada dua hal yang perlu dilakukan untuk menjadi cakap keuangan, yaitu meningkatkan keterampilan dan keyakinan masyarakat tentang layanan keuangan dan meningkatkan infrastruktur. Literasi keuangan yang tinggi akan menciptakan kesejahteraan keuangan yang berkelanjutan.

2.    Syarat dan Infrastruktur yang Kurang Menunjang

Ketua Umum Asosiasi Fintech Syariah Indonesia, Ronald Wijaya mengatakan bahwa salah satu hambatan yang dihadapi oleh fintech syariah adalah keharusan memiliki Dewan Pengawas Syariah atau DPS di masing-masing perusahaan. Keharusan memiliki dewan pengawas memberatkan beberapa pihak yang ingin mendirikan fintech syariah karena membutuhkan biaya yang besar. Sementara startup pada umumnya belum memiliki modal besar untuk memenuhi kebutuhan tersebut.

Ronald mendorong pemerintah untuk memfasilitasi perkembangan fintech di Indonesia terutama yang berbasis syariah. Ia menyarankan sebuah alternatif seperti satu orang dewan pengawas untuk beberapa fintech syariah yang belum terdaftar. Hal ini akan membantu mereka mendapat infrastruktur yang sesuai dengan regulasi OJK. hambatan yang dirasakan oleh Ronald juga menyangkut soal perizinan yang lama, dan literasi masyarakat tentang fintech syariah. Sangat disayangkan karena Indonesia memiliki jumlah penduduk Muslim yang tinggi.

3.    Indonesia Perlu Kebijakan yang Matang

  Tantangan fintech syariah selanjutnya adalah tentang kebijakan yang belum mencakup keamanan nasabah. Layanan jasa keuangan mampu meningkatkan kesejahteraan keuangan masyarakat jika dikelola dengan baik. Pengelolaan yang baik tentu memerlukan kebijakan yang matang. Justru karena layanan Peer-to-Peer Lending memiliki potensi yang besar di Indonesia, sangat diperlukan adanya peran regulator yang sehat.

  Kebijakan yang dimaksud adalah hal-hal yang menyangkut syarat pendirian dan operasi fintech, inovasi layanan yang aman bagi nasabah, serta kompetisi antar-fintech yang sehat.
Kebijakan yang matang diperlukan, juga karena penyelenggara layanan keuangan fintech memerlukan keterampilan dan kapasitas dalam mengurangi risiko untuk kepentingan nasabah. Penyelenggara fintech juga harus memastikan keamanan dana publik, keamanan data publik, serta mampu mengatur keuangan masyarakat dengan memberikan bunga yang wajar. Meskipun terhitung baru, pemerintah optimis dengan pertumbuhan fintech-fintech di Indonesia akan memberikan kemakmuran dalam hal keuangan masyarakat.

Peran Fintech Syariah Bagi UMKM

Dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI Nomor 117/DSN-MUI/II/2018, fintech syariah disebut dengan istilah Layanan Pembiayaan Berbasis Teknologi Informasi Berdasarkan Prinsip Syariah yang didefinisikan sebagai penyelenggaraan layanan jasa keuangan berdasarkan prinsip syariah yang mempertemukan atau menghubungkan Pemberi Pembiayaan dengan Penerima Pembiayaan dalam rangka melakukan akad pembiayaan melalui sistem elektronik dengan menggunakan jaringan internet.

Saat ini, pemerintah menilai bahwa fintech syariah merupakan bagian dari industri fintech nasional yang turut berperan dalam mendukung pertumbuhan UMKM di Indonesia, khususnya UMKM yang belum dilayani oleh perbankan.

Dalam hal ini, fintech syariah memberikan solusi bagi UMKM untuk mengurangi kesenjangan antara lembaga keuangan dengan pihak-pihak yang membutuhkan pembiayaan. Maka dari itu, fintech syariah berpotensi turut mendukung inklusi keuangan melalui pembiayaan pada segmen pasar yang non-bankable.

Kemampuan fintech syariah dalam mengoptimalisasi teknologi membuat segala proses menjadi mudah, cepat, dan singkat. Keunggulan ini diyakini menjadi masa depan fintech syariah untuk terus berkembang yang pada akhirnya memberikan dampak terhadap pertumbuhan UMKM. Hal ini dikarenakan salah satu faktor yang mendukung fintech syariah dalam mendorong pertumbuhan UMKM adalah tingkat penggunaan teknologi digital oleh UMKM.

Kekuatan teknologi yang memadai tentunya harus didukung oleh ekosistem fintech syariah yang relatif mapan. Dalam hal ini, sinergitas fintech syariah dengan pelaku usaha, pemerintah, dan akademisi diyakini dapat mendorong pertumbuhan fintech syariah. Seperti halnya kerjasama fintech syariah dengan perbankan dapat menjadi peluang penyaluran pembiayaan yang memberikan win-win solution bagi kedua belah pihak. Pihak fintech syariah mendapatkan pendanaan, sedangkan bank diberikan bantuan dalam penyaluran pembiayaan.

Fintech syariah juga dapat memperluas pangsa pasarnya dengan mengadakan kerjasama bersama para pelaku usaha, seperti e-commerce. Melalui kerjasama ini, fintech syariah dapat menjangkau UMKM untuk menyalurkan pembiayaan secara lebih efisien dan meluas. Pada akhirnya, hal ini akan memudahkan fintech dalam menjangkau borrower yang berkualitas.

Kesimpulan

Indonesia dengan jumlah penduduk Muslim yang besar memiliki potensi yang besar pula untuk perkembangan fintech berbasis syariah. Tak lupa bahwa cita-cita Indonesia menjadi International Fintech Hub harus dicapai dengan menuntaskan beberapa tantangan fintech syariah seperti, meningkatkan literasi keuangan masyarakat, menciptakan infrastruktur yang wajar bagi startup-startup di Indonesia, dan membuat kebijakan yang matang demi keamanan transaksi nasabah. Jika tantangan fintech syariah di Indonesia bisa kita jawab, pada akhirnya peran fintech akan meningkat, tidak hanya untuk UMKM namun untuk keuangan nasional kita.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

METODE PENGHITUNGAN PENDAPATAN NASIONAL

Pendekatan Produksi (Production Approach) Penghitungan pendapatan nasional dengan pendapatan produksi adalah dengan menghitung jumlah produk...